Sabtu, 27 September 2008

LINTANG ANAK NELAYAN

Sudah nonton LASKAR PELANGI? Film yang diadopsi dari novel Andrea Hirata sungguh luar biasa. Riri Reza sukses menyutradarainya sehingga mampu menyentak-nyentak kesadaran yang hampir beku, bahwa pendidikan bukan melulu soal gedung, gaji guru, buku terbaru, dan kurikulum. Pendidikan perlu sukma, kemerdekaan, dan di atas segalanya adalah ketulusan.

Lintang, salah seorang anggota pasukan Laskar Pelangi (murid-murid Bu Muslimah di SD Muhammadiyah Gantong, Belitung), putra nelayan yang cerdas matematika. Saban pagi pergi sekolah melintas padang ilalang dan rawa kecil kubangan buaya besar. Lintang, nyaris gagal ikut cerdas cermat lantaran terhalang buaya besar yang tak mau beranjak dari jalan setapak.
Sayang, sekembali ke rumah membawa khabar kemenangan kepada bapak dan adik-adiknya, bapaknya belum juga pulang dari laut. Beberapa hari kemudian Lintang dan adik-adiknya yakin sang bapak tewas di laut. Patahlah harapan Lintang untuk meneruskan sekolah dan pamit kepada Bu Mus dan anggota Laskar Pelangi untuk meneruskan tradisi orang tuanya, menjadi nelayan.

Sekali lagi terkonfirmasi bahwa nelayan di negeri bahari ini hidupnya selalu memilukan hati. Lintang, si anak jenius matematika, yang seyogyanya menjadi bekalnya untuk "memberi lebih banyak, bukan meminta lebih banyak" sepaerti yang senantiasa dipetuahkan sang Kepala Sekolah, harus keluar paling awal dari Laskar Pelangi lantaran kemiskinan absolut.

Di negeri ini ada 8.090 desa pesisir. Tentu naif untuk mengaharapkan pendidikan pesisir laksana SD Muhammadiyah Gantong, sebab boleh jadi tidak ada lagi pahlawan tanpa tanda jasa seperti Pak Kepala Sekolah dan Bu Mus. Anak-anak nelayan perlu sekolah, perlu sehat, pendidikan ketulusan agar ketika mereka dewasa "lebih banyak memberi daripada lebih banyak meminta".

Laut lumbung penghabisan. Di sanalah masa depan Indonesia.

Kamis, 25 September 2008

KREDIT MIKRO PASCABENCANA

Gempa bumi dan gelombang tsunami yang menimpa NAD, Nias, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pantai Selatan Jawa telah mengakibatkan dampak yang begitu luas, terutama bagi kalangan Usaha Mikro Kecil (UMK) di daerah tersebut. Kerusakan sarana dan prasarana budidaya seperti tambak, saluran tambak, hatchery, kolam air tawar, dan Keramba Jaring Apung terjadi di Kota Banda Aceh, Kota Lhoksemawe, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Biruen, Kab. Aceh Utara, Kab. Aceh Timur dan Kab. Aceh Selatan. Persentase kerusakan tambak dan saluran tambak terparah terjadi di kota Banda Aceh (541 Ha tambak dan 20 km saluran tambak) dan Kab. Aceh Besar (1.005,7 Ha tambak dan 42 km saluran tambak) dimana semua tambak dan saluran tambak rusak.
Kerusakan tambak terluas terjadi di Kab. Aceh Timur (7.366 Ha) dan Kab. Aceh Utara (4114 Ha) serta kerusakan saluran tambak terpanjang terjadi di Kab. Aceh Utara (169 km) dan Kab. Bireun (126 km). Sarana dan prasarana yang rusak seperti TPI (tempat pelelangan ikan) sebanyak 19 unit (0,37%), PPI (pangkalan pendaratan ikan) 63 unit (1,24%), dan sekitar 40% armada penangkapan skala kecil beserta alat tangkapnya juga ikut ditelan tsunami. Pemerintah memperkirakan kerusakan sektor perikanan sebesar Rp. 478 milyar (US$ 52 juta). Bank Umum sebagai penopang kegiatan UMK juga mengalami kerusakan akibat tsunami sebanyak 25 unit (17,61%) dan BPR sebanyak 4 unit (8,89%), sekitar Rp 2 trilyun kredit diperkirakan menjadi kredit bermasalah.
Seperti halnya di NAD dan Nias, gempa Yogyakarta dan tsunami yang terjadi di Pantai Selatan Jawa juga memporak-porandakan UMK di wilayah itu. Akibat tsunami tersebut di Jawa Barat tercatat sebanyak 1.326 unit perahu rusak. Jika ditaksir kerugian yang dialami mencapai Rp. 53 milyar. Di Jawa Tengan dan DIY juga mengalami hal yang sama. Dari data DKP per 7 Agustus 2006 mencatat 2738 kapal rusak berat dan sebanyak 36.033 alat tangkap juga mengalami rusak berat. Kondisi kerusakan yang menimpa masyarakat pesisir khususnya kegiatan perekonomian UMK harus segera dibenahi. Kita tidak bisa membiarkan masyarakat pesisir terus terpuruk dalam kesedihan sehingga akan menimbulkan dampak negatif yang lebih banyak.

PROGRAM PEMP DI DAERAH BENCANA

Jauh hari sebelum terjadi musibah bencana yang notabene memporak-porandakan perekonomian masyarakat pesisir, pemerintah melalui DKP telah melakukan pemberdayaan UMK melalui program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Dengan segala keterbatasan khususnya akses permodalan di masyarakat pesisir, DKP berusaha memecah kebuntuan itu. Program PEMP ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja masyarakat pesisir (termasuk nelayan) melalui pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pesisir yang profesional, mandiri dan berkelanjutan. Rintisan pembentukan LKM juga merupakan keharusan dalam upaya menjebol tembok-tembok penghalang akses permodalan nelayan. Pentingnya kehadiran LKM, berkaitan dengan keterbatasan jangkauan pelayanan lembaga perbankan selama ini. Sebuah dilema perbankan yang harus dipecahkan, yakni pada tingkat business plan sesungguhnya lembaga perbankan sudah mengalokasikan pagu untuk Usaha Mikro Kecil Koperasi (UMKK), akan tetapi mengalami hambatan dalam penyaluran kepada nelayan karena faktor jangkauan pelayanan dan akses yang masih sulit.
Pada awalnya, tidak terkecuali di daerah-daerah yang kemudian dilanda bencana, masyarakat pesisir dimotivasi dan difasilitasi untuk memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan secara terencana melalui kelompok. Karena itu, dalam periode inisiasi (2001-2003) ini, Program PEMP memfasilitasi pembentukan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di tingkat desa untuk kemudian KMP-KMP ini bergabung membentuk Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-mikro mitra mina (LEPP-M3) di tingkat Kecamatan.
Didampingi seorang Tenaga Pendamping Desa (TPD), KMP membuat rencana kerja anggota untuk diajukan pembiayaannya pada LEPP-M3. Rencana kerja yang diajukan KMP tersebut diverifikasi terlebih dahulu oleh Mitra Desa (yang terdiri atas tokoh masyarakat desa) guna memastikan bahwa anggota KMP betul-betul sebagai warga setempat yang matapencahariannya berkaitan dengan sumberdaya kelautan dan perikanan. Hasil verifikasi tersebut kemudian dianalisis kelayakan (usaha dan teknis) oleh LEPP-M3. Rencana kerja KMP yang dinilai layak akan mendapatkan fasilitas ”dana bergulir” tanpa agunan dengan tingkat suku bunga antara 6-12 persen per tahun.
Tiga tahun periode inisiasi memberikan banyak pelajaran untuk keberlanjutan program dan kemandirian masyarakat pesisir. Pertama, ada indikasi perubahan kultur kewirausahaan dari yang berkarakter individual-tradisional-subsistensi ke kultur korporat-berorientasi profit. Perubahan kultural ini berkaitan erat dengan intensitas pendampingan. Kedua, pengelolaan LEPP-M3 ditangani tenaga-tenaga sukarela-amatir sehingga mudah ditinggalkan begitu tenaga pengelola mendapatkan pekerjaan tetap di tempat lain. Secara demikian, LEPP-M3 mengalami kesulitan untuk tumbuh menjadi lembaga yang diharapkan menjadi holding company dengan bisnis utama pelayanan kredit mikro. Ketiga, tingkat suku bunga yang terlalu rendah justru membangkitkan moral hazard sehingga sulit mengharapkan keberlanjutan program.
LEPP-M3 hasil periode inisiasi kemudian direvitalisasi dalam periode institusionalisasi (2004-2006). Bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UKM, LEPP-M3 didorong menjadi berbadan hukum koperasi. Di bawah koperasi LEPP-M3, pengelolaan ”dana bergulir” dikonversi menjadi Unit Simpan Pinjam dengan melibatkan lembaga perbankan. Pada tahun pertama (2004) Bank Bukopin dan Bank Papua yang bersedia menjadi mitra, menyusul kemudian Bank BRI, BSM, dan Bank Maluku pada tahun kedua.
Ketika koperasi LEPP-M3 di Propinsi Nangro Aceh Darussalam dan Sumut sedang bersemangat merintis Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina bersama Bank Bukopin setempat, bencana tsunami datang menerjang. Pengelola Swamitra Mina yang sudah dilatih sebagian besar tewas. Demikian pula kantor mereka hancur berantakan berikut perangkat komputer dan sistemnya. Tidak ada pilihan lain, skim PEMP harus disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Bekerjasama dengan Regional Center Program Mitra Bahari (yang merupakan forum perguruan tinggi, pemda, LSM, dan kalangan pengusaha) NAD, nelayan-nelayan yang selamat diidentifikasi dan didampingi untuk rehabilitasi usaha produktif mereka. Dana PEMP yang sudah terlanjur masuk rekening Koperasi LEPP-M3 pada Bank Bukopin digunakan untuk membeli perahu, jaring, dan modal kerja. Dana itu diberikan sebagai hibah.
Berbeda dengan bencana NAD dan Nias, gempa bumi Yogyakarta dan tsunami Selatan Jawa justru terjadi setelah LKM Swamitra Mina berjalan secara on-line system di Bantul, Kulonprogo, Tasikmalaya, Cilacap, dan Ciamis. Pada saat gempa melanda Yogyakarta, Swamitra Mina Bantul telah membukukan keuntungan Rp 49,7 juta dengan NPL (non performance loan) 2,11%, Kulonprogo keuntungan Rp 43,9 juta dengan NPL 3,63%, Tasikmalaya keuntungan Rp 118,2 juta dengan NPL 10,11%, dan Cilacap membukukan keuntungan Rp 19,8 juta dengan NPL 21,14%. Karena itu kebijakannya pun berbeda dengan kebijakan NAD dan Nias.

SKIM KREDIT PASCABENCANA

Setelah melewati masa tanggap darurat, skim pembiayaan usaha mikro kecil pesisir di NAD dimulai dengan memperkuat LKM Syari’ah Baithul Qirodh (BQ)bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri, Kementerian Koperasi dan UKM, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dan Pemda NAD.
Perekrutan tenaga pengelola BQ dilakukan oleh BSM dan Pemda Kabupaten/Kota, kemudian dilatih oleh PINBUK dan BSM atas pendanaan DKP dan Kementerian Koperasi dan UKM. Modal awal yang akan digulirkan melalui BQ bersumber dari dana PEMP dan ke depan juga dari dana penjaminan Kementerian Koperasi serta dari BSM dan Pemda. Masyarakat pesisir (terutama nelayan dan pembudidaya ikan) atas pendampingan TPD dan RC Program Mitra Bahari, mengakses skim kredit mikro syariah pada BQ.
Sementara di daerah bencana Pantai Selatan Jawa, kebijakan skim pembiayaan usaha mikro kecil pesisir disesuaikan dengan tingkat kerusakan yang dialami masyarakat serta dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, dilakukan identifikasi nasabah swamitra mina untuk menetapkan skim penyelesaian kredit mereka. Nelayan atau pembudidaya ikan yang asetnya mengalami kehancuran total, maka kreditnya dihapusbukukan sehingga mereka terbebas dari kewajiban membayar. Selebihnya ada kebijakan pemotongan bunga dan reschedulling.
Tahap berikutnya adalah peluncuran skim kredit khusus pascabencana dengan tanpa agunan, bunga rendah sekitar 6%, dan grace period (masa tenggang) 1-2 tahun. Kredit khusus ini tetap menggunakan LKM Swamitra Mina. Selain itu, saat ini Kementerian Koperasi juga sedang menggodok skim pembiayaan UMK untuk daerah bencana. Dengan skim khusus ini kita berharap ekonomi masyarakat pesisir di daerah bencana akan tumbuh secara mandiri dan terhormat.***

IRONI NEGERI BAHARI

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu


Lautan adalah sumber kehidupan. Koes Ploes, dalam bait-baitnya bahkan menyebutnya ”kolam susu”. Pramoedya Ananta Toer—dalam novel sejarahnya Arus Balik—pun percaya keruntuhan kerajaan nusantara lantaran para raja memalingkan tahta dari laut. Negeri ini kaya sumberdaya kelautan, sumber kehidupan yang seharusnya menyejahterakan. Lima koma delapan juta kilometer persegi laut kita menyimpan 6,26 juta ton ikan dan nelayan boleh menangkap 5,01 juta ton ikan per tahun.
Namun ironisnya, dalam dokumen BPS masih tercatat 32 persen dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tersebar di 8.070 desa pantai minim listrik, air bersih, saluran telekomunikasi, dan jalan aspal. Di desa-desa nelayan, juga belum tentu ada sekolah dasar. Dan masyarakat pesisir ternyata penyumbang signifikan angka buta huruf.
Anak bangsa ini bukannya tinggal berpangku tangan. Berbagai upaya telah dan terus-menerus dijalankan untuk meraih kembali kejayaaan nusantara dari lautan. Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 merubah peta geopolitik kelautan. Laut teritorial kita yang tadinya hanya 3 mil laut diperluas—secara sepihak—menjadi 12 mil, dan belakangan diakui secara internasional melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Sejak Presiden Gus Dur bahkan telah didirikan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), agar lautan memberikan kesejahteraan. Perbankan pun sudah mulai percaya kepada nelayan. Para nelayan bangkit, bergairah, dan mendirikan koperasi-koperasi. Lembaga keagamaan juga tak mau ketinggalan. Tapi pengentasan kemiskinan memang perlu waktu, kerja keras dan cerdas.
Kemiskinan masyarakat pesisir sungguh sangat rumit, karena komplikasi faktor struktural, kultural, dan natural sekaligus. Kebijakan infrastruktur harus diakui belum menjangkau pesisir secara signifikan. Akibatnya, banyak sentra-sentra nelayan yang seharusnya menerima fasilitas Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) agar mereka bisa membeli solar harga pemerintah gagal hanya karena tidak ada jalan aspal bagi mobil tangki Pertamina. Lembaga keuangan mikro Swamitra Mina, kerjasama DKP dengan Bank Bukopin, yang direncanakan on-line akhirnya baru 46 kabupaten/kota yang on-line dari rencana 130, lagi-lagi karena keterbatasan saluran telepon di wilayah pesisir.
Pada komunitas pesisir, khususnya nelayan, sudah cukup lama terjalin relasi patron-client yang tidak menguntungkan bagi nelayan. Relasi kultural tersebut menyebabkan nelayan sangat tergantung pada juragan sebagai patron. Juragan sering bertindak sebagai pelepas uang—tapi suku bunga 60% per tahun—dan sekaligus sebagai penampung hasil tangkapan dengan harga yang murah. Kultur kewirausahaan mereka juga belum tumbuh. Pada umumnya nelayan bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja (subsistance).
Di Pantura Jawa sumberdaya perikanan sudah over fishing dan terdapat kelebihan 400 ribu nelayan. Sementara di lautan bagian Timur Indonesia belum dimanfaatkan optimal lantaran keterbatasan SDM dan permodalan.
Ironi negeri bahari, sebuah tantangan besar. Pemerintah telah mencanangkan Revitalisasi Perikanan yang perlu infrastruktur dan permodalan, karena teknologi sesungguhnya kita sudah kuasai. Berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir juga telah dijalankan untuk menggugah kebangkitan masyarakat, yang sejatinya berkarakter terbuka dan dinamis. Masyarakat pesisir tidak minta ”dikasihani”, cukup diberi kesempatan.+++

Rabu, 24 September 2008

HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM

A. PENDAHULUN

Ekosistem pesisir Indonesia memendam potensi sumberdaya alam, yang apabila dikelola secara optimal dan berkelanjutan, niscaya akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir. Bentangan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer yang berhimpit dengan perairan pesisir sejauh 12 mil ke arah laut merupakan aset bangsa yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik ekonomi maupun kebudayaan.
Ironisnya, lantaran pemanfaatannya belum memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan yang baik dan bertanggungjawab, maka potensi besar tersebut belum mampu mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir. Komunitas yang mendiami 8.090 desa pesisir dengan populasi 16,42 juta jiwa ini ternyata 32 persen hidup dengan pendapatan kurang dari satu dollar Amerika per hari.[2] Kemiskinan yang tergolong absolut tersebut memaksa masyarakat pesisir melakukan kegiatan penopang kehidupan yang cenderung merusak ekosistem pesisir. Praktik penangkapan ikan menggunakan bom dan potasium serta menambang terumbu karang dan menebang hutan bakau sekadar untuk menyambung hidup keluarga merupakan fenomena yang dijumpai merata hampir di seluruh wilayah pesisir nusantara.
Pada sisi lain, eksploitasi wilayah pesisir untuk pembangunan kota pantai, industri, budidaya, dan pariwisata, terus berlangsung tanpa perencanaan secara terpadu. Akibatnya, laju degradasi ekosistem pesisir menunjukkan tren yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, kondisi terumbu karang yang berstatus sangat baik tinggal 5,51 persen, baik 25,11 persen, cukup 37,33 persen, dan kurang 32,05 persen.[3]
Dalam konteks yang demikian itulah Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat menginisiasi dan menetapkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu terobosan hukum di dalam UU ini adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yang kemudian memicu polemik berbagai kalangan. Kalangan yang menentang HP3, terutama datang dari aktivis lingkungan yang dimotori Walhi. Para penentang HP3 khawatir kebijakan ini akan menggusur komunitas nelayan dari wilayah penangkapan tradisional mereka.[4]
Polemik HP3 kemudian memunculkan pertanyaan yang lebih luas dan fundamental, yakni apa yang menjadi landasan historis, sosiologis, dan yuridis dari kebijakan UU 27/2007? Kajian terhadap UU 27/2007 dengan menggunakan perspektif antropologi hukum diharapkan akan menguak pikiran berbasis historis dan antropologis yang menjadi dasar pijakan pembentuk UU 27/2007.

B. PENDEKATAN PLURALISME HUKUM

Pendekatan antropologi dalam mengkaji hukum pada masyarakat yang belum menuliskan hukumnya berkembang menjadi tiga pendekatan, yakni pendekatan ideologis, deskriptif, dan sengketa. Pendekatan ideologis mengkaji hukum yang berlaku di suatu masyarakat dengan cara mengidentifikasi aturan yang secara umum dipersepsikan sebagai pedoman perilaku. Pendekatan ini memahami hukum sebagai ideologi yang memang seharusnya menguasai/mengendalikan perilaku masyarakat. Kelemahan pendekatan ini terletakn pada metodologinya yang menempatkan kaum elit sebagai representasi komunitas; pendekatan deskriptif mengkaji bagaimana orang-orang dalam masyarakat secara nyata berperilaku. Jadi hukum dipahami sebagai perilaku nyata; pendekatan sengketa mengkaji ketegangan atau perselesihan serta motif yang melatarbelakanginya. Hukum bagi pendekatan ini merupakan akumulasi dari cara-cara masyarakat menyelesaikan sengketa yang muncul.[5]
Ketiga pendekatan tersebut merupakan kecenderungan yang berkembang pada pertengahan abad ke-19. Ketika itu, keanekaragaman hukum yang dianut dalam suatu masyarakat ditanggapi sebagai gejala perkembangan evolusi hukum. Dalam perkembangan selanjutnya mengalami pergeseran pada abad ke-20 yang menanggapi keanekaragaman hukum sebagai gejala pluralisme hukum.[6]
Pada umumnya pemikiran mengenai adanya kenyataan pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum Negara sebagai hukum yang berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari hukum lain serta dijalankan oleh seperangkat lembaga Negara. Sementara konsepsi pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatun arena sosial.[7] Griffith bHKn berpendapat bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan.
Pendekatan pluralisme hukum dengan demikian meletakkan hukum Negara, sebagaimana terjelma dalam peraturan perundang-undangan negara, setara dengan hukum rakyat, yang tercermin pada perilaku masyarakat. Namun, fokus kita bukan pada persoalan dikotomi hukum negara versus hukum rakyat, tetapi bagaimana kedua macam hukum tersebut berinteraksi. Dalam proses interaksi tersebut boleh jadi apa yang dikategorikan sebagai hukum rakyat akan diadopsi ke dalam hukum negara. Jika ini terjadi hendaknya dipahami sebagai sebuah sintesis hukum yang dikehendaki masyarakat, bukan dipandang sebagai hegemoni hukum negara. Perspektif inilah yang menjadi basis analisis terhadap HP3 sebagai bagian hukum negara.

C. PROSES PERUMUSAN UU 27/2007[8]

Rentang waktu yang dilewati hingga disahkannya UU 27/2007 relatif panjang dan melibatkan hampir semua elemen yang ada kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM ketika itu, pada suatu Rapat Dengar Pendapat dengan DPR sempat berkelakar bahwa tinggal bajak laut saja yang belum sempat diajak konsultasi ikhwal RUU PWP3K ini. Memang, diperlukan waktu tujuh tahun lebih untuk menggolkan UU ini.

Diawali dengan penyusunan Naskah Akademis pada paruh kedua tahun 2000, yang melibatkan akademisi, praktisi hukum, LSM, bahkan juga memperoleh masukan dari pakar internasional, terutama dari Rhode Island University. Selama penyusunan Naskah Akademis, proses konsultasi publik terhadap issue krusial juga dilakukan, antara lain, di Jakarta, Lampung, Balikpapan, dan Manado. Selain itu, pada saat yang sama juga dibuka diskusi melalui internet yang dimoderatori Subandono, Sapta Ginting, dan Wilson Siahaan. Konsekuensinya, masukan dari berbagai pihak demikian banyak mengakibatkan Naskah Akademis menjadi sarat issue dan karenanya juga menjadi naskah panjang.
Naskah Akademis berikut formulasi Rancangan Undang-Undang rampung dalam tahun 2001. Dalam naskah ini issue krusial yang sering memicu perdebatan adalah akreditasi. Mekanisme akreditasi dan kelembagaannya sering dibaca sebagai upaya resentralisasi kewenangan pengeloaan wilayah pesisir, padahal kewenangan itu telah didesentralisasi melalui UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tudingan resentralisasi sebetulnya berlebihan, karena norma akreditasi dan kelembagaannya sama sekali tidak mengebiri kewenangan yang ada pada pemerintah daerah. Akreditasi hanya mendorong secara sukarela disertai sejumlah insentif bagi pemerintah daerah yang secara konsisten menerapkan standar pengelolaan wilayah pesisir yang baik dan berkelanjutan. Praktik semacam ini terbukti efektif di Amerika dan sejumlah negara-negara maju dan berkembang di dunia.
Naskah akademik serta rancangan UU-PWP terus didiskusikan sepanjang 2002 hingga disahkannya pada 2007. Dalam berbagai diskusi, terungkap aspirasi yang kuat dari masyarakat agar UU PWP memberikan perlindungan kepada masyarakat adat dengan segala atribut dan hak-hak tradisionalnya. Aspirasi ini kemudian direspon pembuat UU dengan merumuskan HP3 yang merupakan sintesis norma hukum adat dan praktik empiris masyarakat pesisir.
Demikian pula kehendak untuk mengatur mitigasi bencana pesisir dalam UU PWP mengemuka menyusul bencana tsunami Aceh di penghujung 2004. Bencana yang menelan ratusan ribu korban jiwa dan trilyunan rupiah harta benda itu memberikan pelajaran penting, bahwa tata kelola wilayah pesisir yang baik terbukti efektif mengurangi risiko bencana. Daerah yang hutan mangrovenya masih tebal ternyata tingkat kerusakan dan jumlah korban jiwa relatif lebih sedikit daripada daerah yang mangrovenya sudah dikonversi menjadi tambak.
Pada akhirnya UU PWP diperluas sehingga menjangkau pula pengelolaan pulau-pulau kecil. Perluasan ini dipengaruhi oleh kian populernya issue pulau kecil menyusul kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Kealpaan bangsa ini dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar menjadi pangkal pokok kekalahan tersebut. Karena itu, pascakekalahan tersebut, pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Pada saat yang sama juga dilakukan proses toponimi berikut publikasinya dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta penyusunan skim investasi di pulau kecil yang menguntungkan bangsa tanpa merusakan ekosistemnya. Spirit inilah yang mewarnai norma pengaturan pengelolaan pulau kecil dalam UU PWP3K.

D. HP3: Persepektif Antropologi Hukum

HP3 adalah sebuah norma baru dalam khasanah hukum nasional kita. Selama ini, perairan pesisir dan laut senantiasa diletakkan di bawah bayang-bayang doktrin open access, yang menutup peluang pemberian hak atas perairan pesisir.
Harus diakui dominasi doktrin open access masih kuat menguasai benak para pengambil kebijakan di negeri ini. Mereka menganggap perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan laut. Bagi penganut doktrin ini, di atas perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak, sebab akan menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain.
Pandangan semacam ini sangat anti-sejarah dan tidak sesuai dengan tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun. Sebuah risalah menjelaskan bahwa doktrin open access sebenarnya berakar pada tradisi masyarakat Negara-negara Atlantik Utara. Menurut tradisi ini, setiap orang mempunyai hak untuk menangkap ikan di perairan mana saja sebagai perwujudan hak asasi manusia. Karena itu, pengaturan yang membatasi hak asasi tersebut, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota, tidak diperkenankan.
Akan tetapi, sesudah wilayah perikanan mereka mengalami degradasi dan overfishing, maka muncul kepentingan untuk “menularkan” doktrin tersebut ke negara lain, tidak terkecuali Indonesia, demi kelangsungan industri perikanan mereka. Harapannya, ketika doktrin menular ke negara lain, maka kebijakan negara itu sudang barangtentu akan memberi akses bagi armada perikanan Atlantik untuk ikut mengeksploitasi perairan pesisir dan lautnya sebagai konsekuensi doktrin open access. Padahal, negara-negara tersebut sesungguhnya memiliki tradisi pengelolaan perairan pesisir dan laut yang berbeda. Bahkan, di Jepang, Srilanka, Filipina, dan Thailand, jauh sebelumnya telah mempraktikkan pembatasan keikutsertaan, bahkan ada pemberian fishing rights.
Di Indonesia, jauh sebelum jaman kolonial, telah berkembang tradisi pengelolaan perairan pesisir yang memungkinkan penguasaan perairan secara eksklusif. Di Aceh, perairan pesisir dapat dikuasai berdasarkan ijin dari Sultan. Di Tegal, perairan pesisir dibagi-bagi di antara para nelayan seperti gogolan yang silih berganti disediakan bagi mereka untuk menangkap ikan. Di Banten, perairan pesisir dinamakan patenekan yang hanya memberi hak kepada warga desa setempat untuk menagkap ikan. Sasi laut di Maluku, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, atau rompong di Sulawesi Selatan merupakan contoh lain dari tradisi pengelolaan perairan pesisir bernuansa property right yang hingga kini tetap bertahan.
Segenap sistem tradisional ini mempraktikkan penguasaan bagian tertentu dari perairan pesisir secara eksklusif hanya bagi komunitas tertentu dengan memberlakukan hukum-hukum yang mereka sepakati sendiri. Mereka yang bukan anggota komunitas dilarang ikut memanfaatkan sumberdaya perairan pesisir kecuali atas ijin pemimpin komunitas.
Seiring perkembangan sejarah, berkembang pulalah budidaya laut, seperti budidaya mutiara dan rumput laut, pada kenyataannya juga memerlukan penguasaan perairan pesisir secara permanen dan eksklusif. Selama ini, pengusaha budidaya mutiara hanya diberikan ijin sebagai basis legal pemanfaatan perairan pesisir sehingga tingkat kepastian hukumnya pun sangat rapuh. Dalam banyak kejadian, perusahaan budidaya mutiara tergusur lantaran ada peruntukan lain yang datang belakangan. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi sekiranya mereka memiliki HP3. Bahkan untuk usaha budidaya rumput laut, ijin pun mereka tidak punya, sehingga sangat rentan terhadap penggusuran untuk kepentingan lain.
Dengan demikian norma hukum HP3 memiliki landasan historis, sosiologis, dan yuridis yang kuat sehingga pembuat UU tidak ada keraguan untuk mengesahkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ruang lingkup HP3? Berapa lama jangka waktu hak itu dapat diberikan? Siapa saja yang dapat diberikan? Lembaga mana yang berwenang memberikan hak tersebut?
HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air hingga permukaan dasar laut. HP3 dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara masih terdapat kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UU-PWP3K membuka peluang perpanjangan kedua.
Seperti halnya hak-hak tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.
Pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum tidak dapat diberikan HP3. Untuk memastikan pelaksanaanya, maka HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti kesesuaian dengan rencana zonasi dan pengelolaan), administratif (seperti dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.
Perairan pesisir sebagai kekayaan bangsa, menurut konstitusi dikuasai oleh Negara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha budidaya mutiara dan wisata bahari adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari sumberdaya alam perairan pesisir. Seperti halnya sumberdaya alam lainnya, sumberdaya perairan pesisir diatur peruntukannya oleh Negara yang diwakili oleh Pemerintah dan DPR sebagai representasi politik rakyat. Inilah basis konstitusional pengaturan HP3 melalui UU-PWP3K. Persoalannya kemudian ialah siapa yang berhak mendapatkan prioritas memiliki HP3?
UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat (Pasal 18). Norma ini belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang memberikan prioritas kepada masyarakat adat.
Seperti disinggung sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan ditetapkan dalam waktu dekat ini, Pemda wajib membentuk Komite Representasi Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan tersebut. Komite ini akan terdiri atas unsur masyarakat adat/lokal termasuk nelayan, akademisi, pengusaha daerah, dan LSM. Struktur keanggotaan Komite yang demikian ini diharapkan mampu menjaga kepentingan masyarakat adat/lokal.
Derajat keterlibatan Komite dalam proses penyusunan Perda juga diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Peranserta Masyarakat dalam Proses Penyusunan Renstra, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi. Dalam proses penyusunan Renstra, misalnya, keterlibatan Komite hanya bersifat informatif dan konsultatif. Akan tetapi, pada proses penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional keterlibatannya dapat berupa inisiasi penyusunan rencana. Proses penyusunan Perda yang demikian demokratis tersebut memperkecil peluang HP3 dimonopoli para pengusaha dan menggusur nelayan. Bahkan sebaliknya, kita boleh berharap Perda-Perda tersebut nantinya justru akan memberikan prioritas HP3 kepada masyarakat adat termasuk nelayan. Dengan proses yang demikian demokratis, daulat rakyat di perairan pesisir akan tetap terjaga.

E. PENUTUP

HP3 bukan norma hukum baru, tetapi berakar pada hukum adat yang sudah berkembang sebelum masa kolonial. Karena itu, HP3 seyogyanya bisa menjadi instrument pemberdayaan masyarakat adat dan warga negara pada umumnya, karena memiliki legitimasi sejarah, budaya, serta sejalan dengan kebutuhan kontekstual seiring perkembangan budidaya rumput laut skala rakyat, pariwisata bahari, dan budidaya mutiara.+++

[1] Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
[2] Diolah dari data Badan Pusat Statistik dan Yayasan SMERU, 2002.
[3] Departemen Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2007, Jakarta, 2007.
[4] Lihat Harian KOMPAS, 12 Maret 2008.
[5] T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum” dalam T.O. Ihromi (penyunting), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, 2003, hlm 196-197.
[6] Sulistyowati Irianto, “Kesejahteraan SAosial dalam Sudut Pandang Pluralisme Hukum” dalam T.O. Ihromi (penyunting), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, 2003, hlm 241-245.

[7] Ibid.
[8] Diolah dari Naskah Akademik dan dokumen lain yang diterbitkan Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

DAULAT RAKYAT DI PERAIRAN PESISIR

Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) segera memicu polemik begitu UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) ditetapkan. Walaupun HP3 berlaku efektif paling cepat 2010, karena masih perlu PP dan Perda sebagai basis legal pelaksanaannya, namun aksi penolakan terus bergulir. Ada kekhawatiran HP3 mengancam kelangsungan usaha nelayan.
Aspirasi penolakan patut dipertimbangkan, namun argumen di balik kemunculan HP3 dalam UU-PWP3K, juga tidak boleh diabaikan begitu saja.

Legitimasi sejarah

HP3 sebetulnya memiliki legitimasi sejarah yang sangat kuat. Sudah berbilang abad masyarakat nusantara mempraktikkan tradisi pengelolaan perairan pesisir, yang memberikan hak eksklusif kepada masyarakat adat, baik individu maupun komunal. Klaim perairan pesisir di sekitar rumpon sebagai hak eksklusif sudah dipraktikkan nelayan Bugis Makassar jauh sebelum Indonesia merdeka. Di Maluku, tradisi sasi laut yang memberikan hak khusus kepada masyarakat adat untuk mengelola wilayah perairan pesisir, bahkan masíh eksis hingga saat ini. Di Pulau Selayar, hak atas perairan pesisir selain dapat diwariskan ternyata ada juga yang dijadikan mahar pernikahan.
Sejarah politik hukum nasional juga sebetulnya sudah mengintroduksi norma semacam HP3. Dalam UU Agraria 1960 terdapat ketentuan Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Hak ini sepertinya dipengaruhi oleh kecenderungan teoretis pengelolaan sumberdaya alam ketika itu, yang mulai bergeser dari doktrin milik bersama (common property) atas sumberdaya alam ke doktrin pemilikan tunggal (sole ownership). Sayangnya, kecenderungan politik hukum ini mati suri lantaran para penginisiasi UU Agraria tak kunjung menerbitkan PP sebagaimana yang diamanatkan. Akhirnya UU Agraria tercitrakan sebagai hanya UU pertanahan.
Masuknya HP3 dalam UU-PWP3K juga merupakan tanggapan terhadap tuntutan kebutuhan ril masyarakat pesisir saat ini. Kesulitan hidup masyarakat pesisir, yang mendiami 8.090 desa, mendorong tumbuhnya usaha budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian alternatif penopang hidup keluarga. Hanya bermodalkan bentangan tali dan bibit rumput laut yang tersedia melimpah di alam, mereka mengkavling perairan untuk membudidayakan rumput laut yang dapat dipanen dalam tempo empat puluh lima hari. Usaha rakyat ini pada kenyataannya memerlukan kepastian hukum atas perairan pesisir yang dijadikan lahan budidaya.
Demikian pula, usaha budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung, yang dikembangkan dalam skala mikro-kecil milik rakyat, memerlukan kepastian hukum atas perairan pesisir yang digunakannya. Namun, tak dapat dipungkiri pula, ada kepentingan pemberian kepastian hukum bagi investor yang mengembangkan usaha budidaya mutiara dan wisata bahari. Kepentingan terakhir inilah yang sering dicurigai sebagai ancaman terhadap kepentingan nelayan.

Apa dan untuk siapa HP3?

HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air, hingga permukaan dasar laut. HP3 diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun lagi. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara masih terdapat kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UU-PWP3K membuka peluang perpanjangan kedua.
Seperti halnya hak-hak tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.
Pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum tidak dapat diberikan HP3. Untuk memastikan pelaksanaanya, maka HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti kesesuaian dengan rencana zonasi dan rencana pengelolaan), administratif (seperti dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.
Perairan pesisir sebagai kekayaan bangsa, menurut konstitusi dikuasai oleh Negara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha budidaya mutiara dan wisata bahari adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari sumberdaya alam perairan pesisir. Persoalannya kemudian ialah siapa yang berhak mendapatkan prioritas memiliki HP3?
UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat. Norma ini belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang memberikan prioritas kepada masyarakat adat.
Seperti disinggung sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai dengan Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Pemda wajib membentuk Komite Representasi Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan tersebut. Komite ini akan terdiri atas unsur masyarakat adat/lokal termasuk nelayan, akademisi, pengusaha daerah, dan LSM. Struktur keanggotaan Komite seperti ini diharapkan mampu menjaga kepentingan masyarakat adat/lokal.
Bobot keterlibatan Komite dalam proses penyusunan Perda diatur sesuai tingkat perencanaannya. Dalam proses penyusunan Renstra, misalnya, keterlibatan Komite hanya bersifat informatif dan konsultatif. Akan tetapi, pada proses penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional, keterlibatannya dapat berupa inisiasi penyusunan rencana pengelolaan perairan pesisir. Proses penyusunan Perda yang demikian demokratis tersebut memperkecil peluang HP3 dimonopoli para pengusaha dan menggusur nelayan. Bahkan sebaliknya, kita boleh berharap melalau Perda justru akan memberikan prioritas HP3 kepada masyarakat adat termasuk nelayan. Dengan proses yang demikian demokratis, daulat rakyat di perairan pesisir akan tetap terjaga.
Bahwa ada potensi HP3 masyarakat adat dan nelayan beralih kepada pengusaha memang tidak dapat dipungkiri. Karena itu, diharapkan akademisi dan aktivis terus intensif berinteraksi dengan pemerintah yang kini sedang menyusun PP-HP3. Pengalaman penyusunan UU-PWP3K yang sangat terbuka sehingga memerlukan waktu tujuh tahun untuk menjadi UU yang sah, merupakan preseden baik dan mengisyaratkan telah berseminya kultur demokratisasi produksi hukum.
Interaksi positif tanpa menghilangkan daya kritis, justru akan melahirkan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang lebih kondusif bagi kesejahteraan seluruh anak bangsa. Membangun wilayah pesisir dan pulau kecil tanpa hukum jauh lebih berbahaya ketimbang dengan hukum yang belum sempurna.***

KREDIT MIKRO NELAYAN

Nelayan berumah di tepi laut, karena itu tak memiliki tanah sertifikat. Mereka ada perahu kayu dan motor tempel, tapi tidak terdaftar pada badan klasifikasi kapal. Aktivitas melautnya pun tidak pernah dibukukan sehingga nelayan dianggap belum punya pengalaman usaha. Lantaran itu semua, akhirnya nelayan tidak bankable alias tidak dipercaya bank untuk pinjam kredit. Pelariannya siapa lagi kalau bukan rentenir, tengkulak, toke, atau ponggawa.
Berbilang tahun nelayan di bawah ‘asuhan’ tengkulak, mereka pasrah dan merasa itulah suratan takdir. Demikian harmoninya hubungan nelayan-tengkulak sampai-sampai nelayan merasa tengkulaklah juru selamatnya. Ketika mau ke laut kepada tengkulaklah meminjam uang. Ketika pacekelik kepada tengkulaklah mohon bantuan. Ketika sakit kepada tengkulaklah meminta pertolongan. Tetapi tengkulak bukan jawatan sosial. Dia pedagang yang menghitung untung-rugi.
Segala keperluan nelayan yang diberikan tengkulak adalah utang yang wajib ditunaikan. Sama dengan bank, pinjaman dari tengkulak dikenakan ‘bunga’. Bedanya, di bank ada persyaratan 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition), ‘bunga’ disepakati—misalnya 15% per tahun—dan terjadual pengembaliannya. Di tengkulak sangat fleksibel dan berbasis saling kenal saling percaya. Persyaratan 5C tidak perlu. Bunga sudah tahu sama tahu. Mari saya ajak pembaca yang budiman mengikuti kisah nelayan-tengkulak.
Daeng Baso adalah nelayan Pantura Jawa yang saban hari ke laut menangkap rajungan. Setiap kali mau melaut dia sowan ke Haji Diding minta pinjaman Rp 150 ribu modal kerja sehari. Haji Diding mengenakan bunga nol persen tetapi seluruh rajungan hasil tangkapan Daeng Baso wajib dijual kepadanya. Daeng Baso senang karena bebas bunga, pasti pula pembeli hasil tangkapannya.
Menjelang subuh, Daeng Baso sudah pulang dari laut membawa 15 kilo rajungan. Haji Diding menghargainya Rp 15 ribu sekilo. Mereka sama-sama senang. Daeng Baso dapat hasil Rp 225 ribu, Haji Diding dapat dagangan dan piutangnya lunas hanya dalam tempo sehari. Kurang dari sejam, Haji Diding sudah menjual 15 kilo rajungan itu di Pelelangan dengan harga Rp 25.000 sekilo. Artinya, dalam sehari Daeng Baso untung Rp 75 ribu (50% terhadap modal pinjaman) dan Haji Diding untung Rp 150 ribu (100% terhadap modal yang dipinjamkan kepada Daeng Baso).
Seandainya Daeng Baso dapat mengakses KUR (kredit usaha rakyat), maka dia akan ‘merdeka’ menjual 15 kilo rajungannya ke Pelelangan dan untungnya bertambah dari Rp 75 ribu menjadi Rp 225 ribu. Akan tetapi, Daeng Baso pasti tidak memenuhi syarat 5C padahal kemudahan KUR hanya mengurangi 1C (collateral) dan 4C lainnya tetap berlaku. Di sinilah pentingnya peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Unit Simpan Pinjam milik koperasi (seperti Swamitra Mina dan Baithul Qirod).
Departemen Kelautan dan Perikanan, melalu program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), sejak 2001 secara bertahap dan konsisten merintis berdirinya LKM. Tiga tahun pertama (2001-2003) dirintis pendirian kelompok masyarakat pesisir bernama LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-Mikro Mitra Mina). LEPP-M3 mendampingi dan memfasilitasi nelayan agar dana bantuan DKP dikelola dengan baik dan berkembang sehingga jangkauan kian meluas. Tiga tahun kedua (2004-2006), LEPP-M3 direvitalisasi menjadi koperasi masyarakat pesisir. Koperasi kemudian bermitra dengan perbankan mengembangkan LKM. Kini terlah beroperasi 250 unit LKM, di antaranya 58 berupa Swamitra Mina on-line dan 6 BPR pesisir.
Pelayanan LKM lebih fleksibel dari bank, tetapi lebih terencana dari tengkulak. Nelayan tidak wajib memenuhi syarat 5C karena LKM mengenal dan mengerti kehidupan sosial ekonomi mereka. Namun berbeda dengan tengkulak, nelayan perlu membuat rencana usaha sederhana ketika mengajukan kredit ke LKM. Jadi, misi LKM adalah “memahami dan melayani nelayan”. LKM bersama unit lain koperasi pesisir juga menjadi inkubator untuk mengentaskan usaha nelayan dari mikro menjadi kecil dan menengah.
KUR mikro dengan skim sekarang tidak akan mampu diakses oleh nelayan. Harapannya, KUR pola to step loan dapat membuka jalan bagi nelayan. Bank menyalurkan KUR ke LKM untuk kemudian diakses nelayan melalui skim kredit mikro LKM. Kredit yang ‘mudah’ diakses dan ‘murah’ bunganya, memang harapan semua orang. Tapi jika itu tidak mungkin, maka nelayan akan memilih kredit ‘mudah”. Pengalaman Daeng Baso, sang nelayan rajungan, mampu meraup untung 50% terhadap modal dalam sehari melaut.+++

BBM BAGI NELAYAN

Nelayan kini mendayung di antara badai kenaikan harga BBM dan gelombang pasang harga sembako. Celakanya, laju perahu mereka juga tertahan angin kencang harga ikan yang tak terbeli konsumen menyusul merosotnya daya beli masyarakat. Jika ‘pertolongan’ datang terlambat, maka boleh jadi perahu nelayan oleng dan tenggelam ke dasar samudera kehidupan. Nelayan butuh ikan dan kail sekaligus.
Lantaran kemiskinannya, maka bantuan langsung tunai (BLT) dan beras bagi orang miskin (raskin) absah bagi mereka. Nelayan, yang menghuni 8.090 desa pesisir, 32 persen di antaranya hidup dengan pendapatan kurang dari 1 US$ per hari. Anak-anak mereka perlu pendidikan, maka sekolah di desa pesisir seyogyanya mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS), guru, dan buku-buku. Keluarga mereka juga butuh puskesmas pesisir, dokter, dan obat-obatan.
BBM apalagi! Enam puluh persen lebih dari total biaya melaut adalah belanja BBM. Jadi, ketika BBM dinaikkan harganya, maka kehidupan sosial ekonomi mereka pasti merosot tajam. Karena itu, sejak Januari 2003, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) meluncurkan Program Solar Packed Dialer-Nelayan (SPDN). Didukung Pertamina dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), kini sudah operasional 225 unit SPDN di seluruh nusantara. Idealnya, pada setiap Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ada SPDN yang melayani kebutuhan BBM nelayan dan pembudidaya ikan dengan harga subsidi. Di Indonesia ada lebih dari 600 TPI dan PPI.
SPDN dambaan para nelayan. Ketika sopir angkot dan tukang ojek bisa melenggang kangkung ke SPBU membeli BBM harga subsidi, nelayan terpaksa membeli dari tengkulak dengan harga 40 persen lebih mahal. Itu pun belum tentu tersedia setiap kali dibutuhkan. Kualitasnya jangan ditanya, karena boleh jadi sudah dioplos dalam perjalanan ke desa nelayan.
SPDN meringankan beban nelayan. Di SPDN, nelayan yang menggunakan kapal 30 gross ton ke bawah dan pembudidaya ikan skala kecil, dapat membeli BBM harga subsidi. Artinya, 40 persen beban harga BBM tereduksi. Mereka juga tidak perlu capek memikul jeriken karena BBM dapat langsung masuk ke tangki kapal, layaknya di SPBU. Kualitasnya pun dijamin lantaran seluruh proses pemasokan BBM dari depo Pertamina sampai ke tangki SPDN sangat terjaga.
SPDN sayangnya belum menjangkau seluruh nelayan. Untuk menjangkau nelayan yang saban pagi mendaratkan ikan di TPI dan PPI saja, masih perlu dibangun sekitar 400 SPDN. Padahal, di luar TPI dan PPI masih terdapat sentra nelayan meski populasinya relatif kecil dan tidak ekonomis mendirikan SPDN. DKP, bersama BPH Migas, Pertamina, dan HNSI terus mengikhtiarkan solusi terhadap dilema ini, agar seluruh nelayan di negeri yang anak-anaknya bernyanyi ‘nenek moyangku pelaut’ terlayani SPDN. Sebuah ironi negeri bahari manakala masih ada nelayan terpaksa membeli BBM nonsubsidi, padahal anak bangsa lainnya yang lebih kaya membeli BBM bersubsidi.
SPDN masih belum optimal. Pada sabuah pagi di penghujung bulan Mei saat harga BBM baru saja naik, saya berada di tengah nelayan dan pedagang ikan yang sedang bertransaksi di PPI Paotere Makassar. Pagi itu, 20 ton ikan didaratkan nelayan untuk dilelang. “Sudah 28 hari begitu, padahal biasanya 30 ton”, kata Daeng Bado, ketua Koperasi Nelayan yang mengoperasionalkan SPDN di PPI tersebut. “Lho, BBM kan belum cukup sepekan dinaikkan harganya?”, saya bertanya heran.
Rupanya bagi nelayan ketersediaan BBM lebih penting daripada harganya. Kalau saja BBM tersedia di SPDN menjelang dan sesudah hari kenaikan harga, maka Daeng Bado yakin ikan yang didaratkan tetap 30 ton. Sayangnya, sejak 28 hari sebelumnya Pertamina menghentikan pasokan BBM ke SPDN Paotera. Pasalnya, sejak saat itu kontrak antara Pertamina dengan SPDN sudah berakhir dan belum diusulkan perpanjangannya oleh koperasi. Bisa dimengerti memang, sebab jika Pertamina tetap menyalurkan BBM tanpa kontrak bisa jadi disalahkan auditornya, bahkan dapat disangka menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang tidak berhak.
Jelas sudah! Bagi nelayan, SPDN adalah ikan dan kail sekaligus.+++

Senin, 22 September 2008

Habibie dan harga garam

Mau percaya atau tidak, inilah ungkapan petani garam di Bima Nusa Tenggara Barat. Selasa 16 September 2008 saya didaulat menghadiri silaturrahmi warga desa ba'dah sholat Ashar di mushallah yang mayoritas jama'ahnya petani garam. Seorang di antara mereka maju ke depan & mengungkapkan "jaman Presiden Habibie harga garam per sak (50 kg) Rp 80.000, tapi begitu Pa Habibie berhenti harga garam pun terus turun hingga hanya Rp 6.000 per sak saat ini".
Saya kelabakan menjelaskannya. Faktanya kita saban tahun masih mengimpor 1 juta ton garam dari Australia & India. Dan di Bekasi, kemarin saya membeli garam untuk kolam ikan koi saya hanya Rp 1.000 per liter.
Garam, mungkin termasuk salah satu ironi negeri bahari, Indonesia.
Bagaimana pendapat Anda? Atau ada di antara Pembaca yang budiman dapat menanyakan kepada Pa Habibie?

Minggu, 21 September 2008

Buka puasa di Cipinang & Istana Wapres

Sungguh pengalaman yang emosional. Kamis, pengajian & buka puasa di Lapas Cipinang bersama Pa Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan & Perikanan. Hampir seratus orang sahabat yang hadir, buka puasa & sholat Magrib. Tidak dilanjutkan sholat Isya & Taraweh karena ijinnya cuma sampai 18.30. Para sahabat satu persatu bicara pendek tentang kesan selama bergaul dg Pa Rokhmin. Pejabat, wartawan, dosen, seniman, mahasiswa & pengusaha, semuanya menaruh hormat kepada Pa Rokhmin, meski Pengadilan Tipikor memvonisnya 7 tahun penjara karena menerima gratifikasi.
Ya, semua kita pasti pernah khilaf. Pejabat yg masih berkuasa, aktivis yg idealis, termasuk petinggi & staf KPK pasti pernah khilaf, disengaja maupun tidak. Namun, kita tidak tahu, apakah dengan terungkapnya khilaf itu (seperti yang dialami Pa Rokhmin) atau belum terungkapnya khilaf itu (seperti kita masih bebas seolah tanpa dosa) merupakan bentuk kasih sayang Allah SwT atau sebaliknya merupakan laknat? Hanya Allah yang tahu.
Masuknya Pa Rokhmin dalam penjara boleh jadi sebagai wujud kasih sayang Allah kepada beliau, karena di penjara ruang gerak untuk berbuat dosa kian terbatas & waktu utk merenungi eksistensi diri kian intensif. Wallahu'alam.
Jum'at, buka puasa & taraweh bersama di Istana Wapres. Juga emosional, karena di situ hadir alumni HMI dari berbagai profesi. Penguasa, pengusaha, aktivis LSM, hakim, BPK, bankir berbaur sambil bernostalgia tentang "usaha pasti sampai". Beberapa tahun lalu, Pa Rokhmin juga hadir di tempat ini. Tapi kali ini, Pa Rokhmin tidak mungkin hadir di sini, justru karena dia dihukum oleh penguasa yang juga sesama aktivis HMI di masa lalu. Ya, hidup memang penuh misteri.
Maka marilah kita jalani sisa hidup sebaik-baiknya tanpa ambisi yg berlebihan...

Minggu, 14 September 2008

Laut boleh dikavling dan diperjualbelikan

Ya, kini laut (perairan pesisir) boleh dikavling, boleh dijadikan jaminan utang, boleh diwariskan, dan boleh diperjualbelikan. Begitulah UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengaturnya.



Ada dua alasan utama mendasarinya, yakni pertimbangan historis & kepentingan kontemporer. Secara historis, nenek moyang bangsa kita sudah mempraktikkan pengkavlingan laut jauh sebelum Indonesia Merdeka. Prof Prodjodikoro, ahli hukum adat, mengutip van Vollenhoven mengemukakan bahwa dahulu perairan pesisir di Aceh dapat dikuasai atas izin Sultan, di Tegal laut dikavling para nelayan laksana tanah gogolan, di Ambon perairan pesisir dianggap sebagai wilayah desa, dan di Banten laut dinamakan patenekan yang hanya memberikan hak bagi warga desa untuk menangkap ikan.



Secara kontekstual, perairan pesisir perlu kepastian hukum atas penguasaannya untuk keperluan budidaya rumput laut, mutiara, wisata bahari, keramba jaring apung, dan sudah barangtentu untuk masyarakat adat. Beberapa negara, seperti Jepang sudah mempraktikkannya.



Untuk argumentasi lebih lengkap dapat dibaca dalam disertasi saya "Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, Eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia" (UGM, 2000).

Label: