Rabu, 24 September 2008

HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM

A. PENDAHULUN

Ekosistem pesisir Indonesia memendam potensi sumberdaya alam, yang apabila dikelola secara optimal dan berkelanjutan, niscaya akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir. Bentangan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer yang berhimpit dengan perairan pesisir sejauh 12 mil ke arah laut merupakan aset bangsa yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik ekonomi maupun kebudayaan.
Ironisnya, lantaran pemanfaatannya belum memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan yang baik dan bertanggungjawab, maka potensi besar tersebut belum mampu mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir. Komunitas yang mendiami 8.090 desa pesisir dengan populasi 16,42 juta jiwa ini ternyata 32 persen hidup dengan pendapatan kurang dari satu dollar Amerika per hari.[2] Kemiskinan yang tergolong absolut tersebut memaksa masyarakat pesisir melakukan kegiatan penopang kehidupan yang cenderung merusak ekosistem pesisir. Praktik penangkapan ikan menggunakan bom dan potasium serta menambang terumbu karang dan menebang hutan bakau sekadar untuk menyambung hidup keluarga merupakan fenomena yang dijumpai merata hampir di seluruh wilayah pesisir nusantara.
Pada sisi lain, eksploitasi wilayah pesisir untuk pembangunan kota pantai, industri, budidaya, dan pariwisata, terus berlangsung tanpa perencanaan secara terpadu. Akibatnya, laju degradasi ekosistem pesisir menunjukkan tren yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, kondisi terumbu karang yang berstatus sangat baik tinggal 5,51 persen, baik 25,11 persen, cukup 37,33 persen, dan kurang 32,05 persen.[3]
Dalam konteks yang demikian itulah Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat menginisiasi dan menetapkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu terobosan hukum di dalam UU ini adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yang kemudian memicu polemik berbagai kalangan. Kalangan yang menentang HP3, terutama datang dari aktivis lingkungan yang dimotori Walhi. Para penentang HP3 khawatir kebijakan ini akan menggusur komunitas nelayan dari wilayah penangkapan tradisional mereka.[4]
Polemik HP3 kemudian memunculkan pertanyaan yang lebih luas dan fundamental, yakni apa yang menjadi landasan historis, sosiologis, dan yuridis dari kebijakan UU 27/2007? Kajian terhadap UU 27/2007 dengan menggunakan perspektif antropologi hukum diharapkan akan menguak pikiran berbasis historis dan antropologis yang menjadi dasar pijakan pembentuk UU 27/2007.

B. PENDEKATAN PLURALISME HUKUM

Pendekatan antropologi dalam mengkaji hukum pada masyarakat yang belum menuliskan hukumnya berkembang menjadi tiga pendekatan, yakni pendekatan ideologis, deskriptif, dan sengketa. Pendekatan ideologis mengkaji hukum yang berlaku di suatu masyarakat dengan cara mengidentifikasi aturan yang secara umum dipersepsikan sebagai pedoman perilaku. Pendekatan ini memahami hukum sebagai ideologi yang memang seharusnya menguasai/mengendalikan perilaku masyarakat. Kelemahan pendekatan ini terletakn pada metodologinya yang menempatkan kaum elit sebagai representasi komunitas; pendekatan deskriptif mengkaji bagaimana orang-orang dalam masyarakat secara nyata berperilaku. Jadi hukum dipahami sebagai perilaku nyata; pendekatan sengketa mengkaji ketegangan atau perselesihan serta motif yang melatarbelakanginya. Hukum bagi pendekatan ini merupakan akumulasi dari cara-cara masyarakat menyelesaikan sengketa yang muncul.[5]
Ketiga pendekatan tersebut merupakan kecenderungan yang berkembang pada pertengahan abad ke-19. Ketika itu, keanekaragaman hukum yang dianut dalam suatu masyarakat ditanggapi sebagai gejala perkembangan evolusi hukum. Dalam perkembangan selanjutnya mengalami pergeseran pada abad ke-20 yang menanggapi keanekaragaman hukum sebagai gejala pluralisme hukum.[6]
Pada umumnya pemikiran mengenai adanya kenyataan pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum Negara sebagai hukum yang berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari hukum lain serta dijalankan oleh seperangkat lembaga Negara. Sementara konsepsi pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatun arena sosial.[7] Griffith bHKn berpendapat bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan.
Pendekatan pluralisme hukum dengan demikian meletakkan hukum Negara, sebagaimana terjelma dalam peraturan perundang-undangan negara, setara dengan hukum rakyat, yang tercermin pada perilaku masyarakat. Namun, fokus kita bukan pada persoalan dikotomi hukum negara versus hukum rakyat, tetapi bagaimana kedua macam hukum tersebut berinteraksi. Dalam proses interaksi tersebut boleh jadi apa yang dikategorikan sebagai hukum rakyat akan diadopsi ke dalam hukum negara. Jika ini terjadi hendaknya dipahami sebagai sebuah sintesis hukum yang dikehendaki masyarakat, bukan dipandang sebagai hegemoni hukum negara. Perspektif inilah yang menjadi basis analisis terhadap HP3 sebagai bagian hukum negara.

C. PROSES PERUMUSAN UU 27/2007[8]

Rentang waktu yang dilewati hingga disahkannya UU 27/2007 relatif panjang dan melibatkan hampir semua elemen yang ada kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM ketika itu, pada suatu Rapat Dengar Pendapat dengan DPR sempat berkelakar bahwa tinggal bajak laut saja yang belum sempat diajak konsultasi ikhwal RUU PWP3K ini. Memang, diperlukan waktu tujuh tahun lebih untuk menggolkan UU ini.

Diawali dengan penyusunan Naskah Akademis pada paruh kedua tahun 2000, yang melibatkan akademisi, praktisi hukum, LSM, bahkan juga memperoleh masukan dari pakar internasional, terutama dari Rhode Island University. Selama penyusunan Naskah Akademis, proses konsultasi publik terhadap issue krusial juga dilakukan, antara lain, di Jakarta, Lampung, Balikpapan, dan Manado. Selain itu, pada saat yang sama juga dibuka diskusi melalui internet yang dimoderatori Subandono, Sapta Ginting, dan Wilson Siahaan. Konsekuensinya, masukan dari berbagai pihak demikian banyak mengakibatkan Naskah Akademis menjadi sarat issue dan karenanya juga menjadi naskah panjang.
Naskah Akademis berikut formulasi Rancangan Undang-Undang rampung dalam tahun 2001. Dalam naskah ini issue krusial yang sering memicu perdebatan adalah akreditasi. Mekanisme akreditasi dan kelembagaannya sering dibaca sebagai upaya resentralisasi kewenangan pengeloaan wilayah pesisir, padahal kewenangan itu telah didesentralisasi melalui UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tudingan resentralisasi sebetulnya berlebihan, karena norma akreditasi dan kelembagaannya sama sekali tidak mengebiri kewenangan yang ada pada pemerintah daerah. Akreditasi hanya mendorong secara sukarela disertai sejumlah insentif bagi pemerintah daerah yang secara konsisten menerapkan standar pengelolaan wilayah pesisir yang baik dan berkelanjutan. Praktik semacam ini terbukti efektif di Amerika dan sejumlah negara-negara maju dan berkembang di dunia.
Naskah akademik serta rancangan UU-PWP terus didiskusikan sepanjang 2002 hingga disahkannya pada 2007. Dalam berbagai diskusi, terungkap aspirasi yang kuat dari masyarakat agar UU PWP memberikan perlindungan kepada masyarakat adat dengan segala atribut dan hak-hak tradisionalnya. Aspirasi ini kemudian direspon pembuat UU dengan merumuskan HP3 yang merupakan sintesis norma hukum adat dan praktik empiris masyarakat pesisir.
Demikian pula kehendak untuk mengatur mitigasi bencana pesisir dalam UU PWP mengemuka menyusul bencana tsunami Aceh di penghujung 2004. Bencana yang menelan ratusan ribu korban jiwa dan trilyunan rupiah harta benda itu memberikan pelajaran penting, bahwa tata kelola wilayah pesisir yang baik terbukti efektif mengurangi risiko bencana. Daerah yang hutan mangrovenya masih tebal ternyata tingkat kerusakan dan jumlah korban jiwa relatif lebih sedikit daripada daerah yang mangrovenya sudah dikonversi menjadi tambak.
Pada akhirnya UU PWP diperluas sehingga menjangkau pula pengelolaan pulau-pulau kecil. Perluasan ini dipengaruhi oleh kian populernya issue pulau kecil menyusul kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Kealpaan bangsa ini dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar menjadi pangkal pokok kekalahan tersebut. Karena itu, pascakekalahan tersebut, pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Pada saat yang sama juga dilakukan proses toponimi berikut publikasinya dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta penyusunan skim investasi di pulau kecil yang menguntungkan bangsa tanpa merusakan ekosistemnya. Spirit inilah yang mewarnai norma pengaturan pengelolaan pulau kecil dalam UU PWP3K.

D. HP3: Persepektif Antropologi Hukum

HP3 adalah sebuah norma baru dalam khasanah hukum nasional kita. Selama ini, perairan pesisir dan laut senantiasa diletakkan di bawah bayang-bayang doktrin open access, yang menutup peluang pemberian hak atas perairan pesisir.
Harus diakui dominasi doktrin open access masih kuat menguasai benak para pengambil kebijakan di negeri ini. Mereka menganggap perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan laut. Bagi penganut doktrin ini, di atas perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak, sebab akan menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain.
Pandangan semacam ini sangat anti-sejarah dan tidak sesuai dengan tradisi lokal yang telah berlangsung turun-temurun. Sebuah risalah menjelaskan bahwa doktrin open access sebenarnya berakar pada tradisi masyarakat Negara-negara Atlantik Utara. Menurut tradisi ini, setiap orang mempunyai hak untuk menangkap ikan di perairan mana saja sebagai perwujudan hak asasi manusia. Karena itu, pengaturan yang membatasi hak asasi tersebut, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota, tidak diperkenankan.
Akan tetapi, sesudah wilayah perikanan mereka mengalami degradasi dan overfishing, maka muncul kepentingan untuk “menularkan” doktrin tersebut ke negara lain, tidak terkecuali Indonesia, demi kelangsungan industri perikanan mereka. Harapannya, ketika doktrin menular ke negara lain, maka kebijakan negara itu sudang barangtentu akan memberi akses bagi armada perikanan Atlantik untuk ikut mengeksploitasi perairan pesisir dan lautnya sebagai konsekuensi doktrin open access. Padahal, negara-negara tersebut sesungguhnya memiliki tradisi pengelolaan perairan pesisir dan laut yang berbeda. Bahkan, di Jepang, Srilanka, Filipina, dan Thailand, jauh sebelumnya telah mempraktikkan pembatasan keikutsertaan, bahkan ada pemberian fishing rights.
Di Indonesia, jauh sebelum jaman kolonial, telah berkembang tradisi pengelolaan perairan pesisir yang memungkinkan penguasaan perairan secara eksklusif. Di Aceh, perairan pesisir dapat dikuasai berdasarkan ijin dari Sultan. Di Tegal, perairan pesisir dibagi-bagi di antara para nelayan seperti gogolan yang silih berganti disediakan bagi mereka untuk menangkap ikan. Di Banten, perairan pesisir dinamakan patenekan yang hanya memberi hak kepada warga desa setempat untuk menagkap ikan. Sasi laut di Maluku, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, atau rompong di Sulawesi Selatan merupakan contoh lain dari tradisi pengelolaan perairan pesisir bernuansa property right yang hingga kini tetap bertahan.
Segenap sistem tradisional ini mempraktikkan penguasaan bagian tertentu dari perairan pesisir secara eksklusif hanya bagi komunitas tertentu dengan memberlakukan hukum-hukum yang mereka sepakati sendiri. Mereka yang bukan anggota komunitas dilarang ikut memanfaatkan sumberdaya perairan pesisir kecuali atas ijin pemimpin komunitas.
Seiring perkembangan sejarah, berkembang pulalah budidaya laut, seperti budidaya mutiara dan rumput laut, pada kenyataannya juga memerlukan penguasaan perairan pesisir secara permanen dan eksklusif. Selama ini, pengusaha budidaya mutiara hanya diberikan ijin sebagai basis legal pemanfaatan perairan pesisir sehingga tingkat kepastian hukumnya pun sangat rapuh. Dalam banyak kejadian, perusahaan budidaya mutiara tergusur lantaran ada peruntukan lain yang datang belakangan. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi sekiranya mereka memiliki HP3. Bahkan untuk usaha budidaya rumput laut, ijin pun mereka tidak punya, sehingga sangat rentan terhadap penggusuran untuk kepentingan lain.
Dengan demikian norma hukum HP3 memiliki landasan historis, sosiologis, dan yuridis yang kuat sehingga pembuat UU tidak ada keraguan untuk mengesahkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ruang lingkup HP3? Berapa lama jangka waktu hak itu dapat diberikan? Siapa saja yang dapat diberikan? Lembaga mana yang berwenang memberikan hak tersebut?
HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air hingga permukaan dasar laut. HP3 dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara masih terdapat kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UU-PWP3K membuka peluang perpanjangan kedua.
Seperti halnya hak-hak tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.
Pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum tidak dapat diberikan HP3. Untuk memastikan pelaksanaanya, maka HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti kesesuaian dengan rencana zonasi dan pengelolaan), administratif (seperti dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.
Perairan pesisir sebagai kekayaan bangsa, menurut konstitusi dikuasai oleh Negara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha budidaya mutiara dan wisata bahari adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari sumberdaya alam perairan pesisir. Seperti halnya sumberdaya alam lainnya, sumberdaya perairan pesisir diatur peruntukannya oleh Negara yang diwakili oleh Pemerintah dan DPR sebagai representasi politik rakyat. Inilah basis konstitusional pengaturan HP3 melalui UU-PWP3K. Persoalannya kemudian ialah siapa yang berhak mendapatkan prioritas memiliki HP3?
UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat (Pasal 18). Norma ini belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang memberikan prioritas kepada masyarakat adat.
Seperti disinggung sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan ditetapkan dalam waktu dekat ini, Pemda wajib membentuk Komite Representasi Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan tersebut. Komite ini akan terdiri atas unsur masyarakat adat/lokal termasuk nelayan, akademisi, pengusaha daerah, dan LSM. Struktur keanggotaan Komite yang demikian ini diharapkan mampu menjaga kepentingan masyarakat adat/lokal.
Derajat keterlibatan Komite dalam proses penyusunan Perda juga diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Peranserta Masyarakat dalam Proses Penyusunan Renstra, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi. Dalam proses penyusunan Renstra, misalnya, keterlibatan Komite hanya bersifat informatif dan konsultatif. Akan tetapi, pada proses penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional keterlibatannya dapat berupa inisiasi penyusunan rencana. Proses penyusunan Perda yang demikian demokratis tersebut memperkecil peluang HP3 dimonopoli para pengusaha dan menggusur nelayan. Bahkan sebaliknya, kita boleh berharap Perda-Perda tersebut nantinya justru akan memberikan prioritas HP3 kepada masyarakat adat termasuk nelayan. Dengan proses yang demikian demokratis, daulat rakyat di perairan pesisir akan tetap terjaga.

E. PENUTUP

HP3 bukan norma hukum baru, tetapi berakar pada hukum adat yang sudah berkembang sebelum masa kolonial. Karena itu, HP3 seyogyanya bisa menjadi instrument pemberdayaan masyarakat adat dan warga negara pada umumnya, karena memiliki legitimasi sejarah, budaya, serta sejalan dengan kebutuhan kontekstual seiring perkembangan budidaya rumput laut skala rakyat, pariwisata bahari, dan budidaya mutiara.+++

[1] Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
[2] Diolah dari data Badan Pusat Statistik dan Yayasan SMERU, 2002.
[3] Departemen Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2007, Jakarta, 2007.
[4] Lihat Harian KOMPAS, 12 Maret 2008.
[5] T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum” dalam T.O. Ihromi (penyunting), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, 2003, hlm 196-197.
[6] Sulistyowati Irianto, “Kesejahteraan SAosial dalam Sudut Pandang Pluralisme Hukum” dalam T.O. Ihromi (penyunting), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, 2003, hlm 241-245.

[7] Ibid.
[8] Diolah dari Naskah Akademik dan dokumen lain yang diterbitkan Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda