Rabu, 24 September 2008

BBM BAGI NELAYAN

Nelayan kini mendayung di antara badai kenaikan harga BBM dan gelombang pasang harga sembako. Celakanya, laju perahu mereka juga tertahan angin kencang harga ikan yang tak terbeli konsumen menyusul merosotnya daya beli masyarakat. Jika ‘pertolongan’ datang terlambat, maka boleh jadi perahu nelayan oleng dan tenggelam ke dasar samudera kehidupan. Nelayan butuh ikan dan kail sekaligus.
Lantaran kemiskinannya, maka bantuan langsung tunai (BLT) dan beras bagi orang miskin (raskin) absah bagi mereka. Nelayan, yang menghuni 8.090 desa pesisir, 32 persen di antaranya hidup dengan pendapatan kurang dari 1 US$ per hari. Anak-anak mereka perlu pendidikan, maka sekolah di desa pesisir seyogyanya mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS), guru, dan buku-buku. Keluarga mereka juga butuh puskesmas pesisir, dokter, dan obat-obatan.
BBM apalagi! Enam puluh persen lebih dari total biaya melaut adalah belanja BBM. Jadi, ketika BBM dinaikkan harganya, maka kehidupan sosial ekonomi mereka pasti merosot tajam. Karena itu, sejak Januari 2003, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) meluncurkan Program Solar Packed Dialer-Nelayan (SPDN). Didukung Pertamina dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), kini sudah operasional 225 unit SPDN di seluruh nusantara. Idealnya, pada setiap Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) ada SPDN yang melayani kebutuhan BBM nelayan dan pembudidaya ikan dengan harga subsidi. Di Indonesia ada lebih dari 600 TPI dan PPI.
SPDN dambaan para nelayan. Ketika sopir angkot dan tukang ojek bisa melenggang kangkung ke SPBU membeli BBM harga subsidi, nelayan terpaksa membeli dari tengkulak dengan harga 40 persen lebih mahal. Itu pun belum tentu tersedia setiap kali dibutuhkan. Kualitasnya jangan ditanya, karena boleh jadi sudah dioplos dalam perjalanan ke desa nelayan.
SPDN meringankan beban nelayan. Di SPDN, nelayan yang menggunakan kapal 30 gross ton ke bawah dan pembudidaya ikan skala kecil, dapat membeli BBM harga subsidi. Artinya, 40 persen beban harga BBM tereduksi. Mereka juga tidak perlu capek memikul jeriken karena BBM dapat langsung masuk ke tangki kapal, layaknya di SPBU. Kualitasnya pun dijamin lantaran seluruh proses pemasokan BBM dari depo Pertamina sampai ke tangki SPDN sangat terjaga.
SPDN sayangnya belum menjangkau seluruh nelayan. Untuk menjangkau nelayan yang saban pagi mendaratkan ikan di TPI dan PPI saja, masih perlu dibangun sekitar 400 SPDN. Padahal, di luar TPI dan PPI masih terdapat sentra nelayan meski populasinya relatif kecil dan tidak ekonomis mendirikan SPDN. DKP, bersama BPH Migas, Pertamina, dan HNSI terus mengikhtiarkan solusi terhadap dilema ini, agar seluruh nelayan di negeri yang anak-anaknya bernyanyi ‘nenek moyangku pelaut’ terlayani SPDN. Sebuah ironi negeri bahari manakala masih ada nelayan terpaksa membeli BBM nonsubsidi, padahal anak bangsa lainnya yang lebih kaya membeli BBM bersubsidi.
SPDN masih belum optimal. Pada sabuah pagi di penghujung bulan Mei saat harga BBM baru saja naik, saya berada di tengah nelayan dan pedagang ikan yang sedang bertransaksi di PPI Paotere Makassar. Pagi itu, 20 ton ikan didaratkan nelayan untuk dilelang. “Sudah 28 hari begitu, padahal biasanya 30 ton”, kata Daeng Bado, ketua Koperasi Nelayan yang mengoperasionalkan SPDN di PPI tersebut. “Lho, BBM kan belum cukup sepekan dinaikkan harganya?”, saya bertanya heran.
Rupanya bagi nelayan ketersediaan BBM lebih penting daripada harganya. Kalau saja BBM tersedia di SPDN menjelang dan sesudah hari kenaikan harga, maka Daeng Bado yakin ikan yang didaratkan tetap 30 ton. Sayangnya, sejak 28 hari sebelumnya Pertamina menghentikan pasokan BBM ke SPDN Paotera. Pasalnya, sejak saat itu kontrak antara Pertamina dengan SPDN sudah berakhir dan belum diusulkan perpanjangannya oleh koperasi. Bisa dimengerti memang, sebab jika Pertamina tetap menyalurkan BBM tanpa kontrak bisa jadi disalahkan auditornya, bahkan dapat disangka menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang tidak berhak.
Jelas sudah! Bagi nelayan, SPDN adalah ikan dan kail sekaligus.+++

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda