Rabu, 24 September 2008

DAULAT RAKYAT DI PERAIRAN PESISIR

Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) segera memicu polemik begitu UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) ditetapkan. Walaupun HP3 berlaku efektif paling cepat 2010, karena masih perlu PP dan Perda sebagai basis legal pelaksanaannya, namun aksi penolakan terus bergulir. Ada kekhawatiran HP3 mengancam kelangsungan usaha nelayan.
Aspirasi penolakan patut dipertimbangkan, namun argumen di balik kemunculan HP3 dalam UU-PWP3K, juga tidak boleh diabaikan begitu saja.

Legitimasi sejarah

HP3 sebetulnya memiliki legitimasi sejarah yang sangat kuat. Sudah berbilang abad masyarakat nusantara mempraktikkan tradisi pengelolaan perairan pesisir, yang memberikan hak eksklusif kepada masyarakat adat, baik individu maupun komunal. Klaim perairan pesisir di sekitar rumpon sebagai hak eksklusif sudah dipraktikkan nelayan Bugis Makassar jauh sebelum Indonesia merdeka. Di Maluku, tradisi sasi laut yang memberikan hak khusus kepada masyarakat adat untuk mengelola wilayah perairan pesisir, bahkan masíh eksis hingga saat ini. Di Pulau Selayar, hak atas perairan pesisir selain dapat diwariskan ternyata ada juga yang dijadikan mahar pernikahan.
Sejarah politik hukum nasional juga sebetulnya sudah mengintroduksi norma semacam HP3. Dalam UU Agraria 1960 terdapat ketentuan Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Hak ini sepertinya dipengaruhi oleh kecenderungan teoretis pengelolaan sumberdaya alam ketika itu, yang mulai bergeser dari doktrin milik bersama (common property) atas sumberdaya alam ke doktrin pemilikan tunggal (sole ownership). Sayangnya, kecenderungan politik hukum ini mati suri lantaran para penginisiasi UU Agraria tak kunjung menerbitkan PP sebagaimana yang diamanatkan. Akhirnya UU Agraria tercitrakan sebagai hanya UU pertanahan.
Masuknya HP3 dalam UU-PWP3K juga merupakan tanggapan terhadap tuntutan kebutuhan ril masyarakat pesisir saat ini. Kesulitan hidup masyarakat pesisir, yang mendiami 8.090 desa, mendorong tumbuhnya usaha budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian alternatif penopang hidup keluarga. Hanya bermodalkan bentangan tali dan bibit rumput laut yang tersedia melimpah di alam, mereka mengkavling perairan untuk membudidayakan rumput laut yang dapat dipanen dalam tempo empat puluh lima hari. Usaha rakyat ini pada kenyataannya memerlukan kepastian hukum atas perairan pesisir yang dijadikan lahan budidaya.
Demikian pula, usaha budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung, yang dikembangkan dalam skala mikro-kecil milik rakyat, memerlukan kepastian hukum atas perairan pesisir yang digunakannya. Namun, tak dapat dipungkiri pula, ada kepentingan pemberian kepastian hukum bagi investor yang mengembangkan usaha budidaya mutiara dan wisata bahari. Kepentingan terakhir inilah yang sering dicurigai sebagai ancaman terhadap kepentingan nelayan.

Apa dan untuk siapa HP3?

HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air, hingga permukaan dasar laut. HP3 diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun lagi. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara masih terdapat kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UU-PWP3K membuka peluang perpanjangan kedua.
Seperti halnya hak-hak tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.
Pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum tidak dapat diberikan HP3. Untuk memastikan pelaksanaanya, maka HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti kesesuaian dengan rencana zonasi dan rencana pengelolaan), administratif (seperti dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.
Perairan pesisir sebagai kekayaan bangsa, menurut konstitusi dikuasai oleh Negara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha budidaya mutiara dan wisata bahari adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari sumberdaya alam perairan pesisir. Persoalannya kemudian ialah siapa yang berhak mendapatkan prioritas memiliki HP3?
UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat. Norma ini belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang memberikan prioritas kepada masyarakat adat.
Seperti disinggung sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai dengan Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Pemda wajib membentuk Komite Representasi Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan tersebut. Komite ini akan terdiri atas unsur masyarakat adat/lokal termasuk nelayan, akademisi, pengusaha daerah, dan LSM. Struktur keanggotaan Komite seperti ini diharapkan mampu menjaga kepentingan masyarakat adat/lokal.
Bobot keterlibatan Komite dalam proses penyusunan Perda diatur sesuai tingkat perencanaannya. Dalam proses penyusunan Renstra, misalnya, keterlibatan Komite hanya bersifat informatif dan konsultatif. Akan tetapi, pada proses penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional, keterlibatannya dapat berupa inisiasi penyusunan rencana pengelolaan perairan pesisir. Proses penyusunan Perda yang demikian demokratis tersebut memperkecil peluang HP3 dimonopoli para pengusaha dan menggusur nelayan. Bahkan sebaliknya, kita boleh berharap melalau Perda justru akan memberikan prioritas HP3 kepada masyarakat adat termasuk nelayan. Dengan proses yang demikian demokratis, daulat rakyat di perairan pesisir akan tetap terjaga.
Bahwa ada potensi HP3 masyarakat adat dan nelayan beralih kepada pengusaha memang tidak dapat dipungkiri. Karena itu, diharapkan akademisi dan aktivis terus intensif berinteraksi dengan pemerintah yang kini sedang menyusun PP-HP3. Pengalaman penyusunan UU-PWP3K yang sangat terbuka sehingga memerlukan waktu tujuh tahun untuk menjadi UU yang sah, merupakan preseden baik dan mengisyaratkan telah berseminya kultur demokratisasi produksi hukum.
Interaksi positif tanpa menghilangkan daya kritis, justru akan melahirkan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang lebih kondusif bagi kesejahteraan seluruh anak bangsa. Membangun wilayah pesisir dan pulau kecil tanpa hukum jauh lebih berbahaya ketimbang dengan hukum yang belum sempurna.***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda