IRONI NEGERI BAHARI
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Lautan adalah sumber kehidupan. Koes Ploes, dalam bait-baitnya bahkan menyebutnya ”kolam susu”. Pramoedya Ananta Toer—dalam novel sejarahnya Arus Balik—pun percaya keruntuhan kerajaan nusantara lantaran para raja memalingkan tahta dari laut. Negeri ini kaya sumberdaya kelautan, sumber kehidupan yang seharusnya menyejahterakan. Lima koma delapan juta kilometer persegi laut kita menyimpan 6,26 juta ton ikan dan nelayan boleh menangkap 5,01 juta ton ikan per tahun.
Namun ironisnya, dalam dokumen BPS masih tercatat 32 persen dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tersebar di 8.070 desa pantai minim listrik, air bersih, saluran telekomunikasi, dan jalan aspal. Di desa-desa nelayan, juga belum tentu ada sekolah dasar. Dan masyarakat pesisir ternyata penyumbang signifikan angka buta huruf.
Anak bangsa ini bukannya tinggal berpangku tangan. Berbagai upaya telah dan terus-menerus dijalankan untuk meraih kembali kejayaaan nusantara dari lautan. Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 merubah peta geopolitik kelautan. Laut teritorial kita yang tadinya hanya 3 mil laut diperluas—secara sepihak—menjadi 12 mil, dan belakangan diakui secara internasional melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Sejak Presiden Gus Dur bahkan telah didirikan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), agar lautan memberikan kesejahteraan. Perbankan pun sudah mulai percaya kepada nelayan. Para nelayan bangkit, bergairah, dan mendirikan koperasi-koperasi. Lembaga keagamaan juga tak mau ketinggalan. Tapi pengentasan kemiskinan memang perlu waktu, kerja keras dan cerdas.
Kemiskinan masyarakat pesisir sungguh sangat rumit, karena komplikasi faktor struktural, kultural, dan natural sekaligus. Kebijakan infrastruktur harus diakui belum menjangkau pesisir secara signifikan. Akibatnya, banyak sentra-sentra nelayan yang seharusnya menerima fasilitas Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) agar mereka bisa membeli solar harga pemerintah gagal hanya karena tidak ada jalan aspal bagi mobil tangki Pertamina. Lembaga keuangan mikro Swamitra Mina, kerjasama DKP dengan Bank Bukopin, yang direncanakan on-line akhirnya baru 46 kabupaten/kota yang on-line dari rencana 130, lagi-lagi karena keterbatasan saluran telepon di wilayah pesisir.
Pada komunitas pesisir, khususnya nelayan, sudah cukup lama terjalin relasi patron-client yang tidak menguntungkan bagi nelayan. Relasi kultural tersebut menyebabkan nelayan sangat tergantung pada juragan sebagai patron. Juragan sering bertindak sebagai pelepas uang—tapi suku bunga 60% per tahun—dan sekaligus sebagai penampung hasil tangkapan dengan harga yang murah. Kultur kewirausahaan mereka juga belum tumbuh. Pada umumnya nelayan bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja (subsistance).
Di Pantura Jawa sumberdaya perikanan sudah over fishing dan terdapat kelebihan 400 ribu nelayan. Sementara di lautan bagian Timur Indonesia belum dimanfaatkan optimal lantaran keterbatasan SDM dan permodalan.
Ironi negeri bahari, sebuah tantangan besar. Pemerintah telah mencanangkan Revitalisasi Perikanan yang perlu infrastruktur dan permodalan, karena teknologi sesungguhnya kita sudah kuasai. Berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir juga telah dijalankan untuk menggugah kebangkitan masyarakat, yang sejatinya berkarakter terbuka dan dinamis. Masyarakat pesisir tidak minta ”dikasihani”, cukup diberi kesempatan.+++
1 Komentar:
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda