Sabtu, 27 September 2008

LINTANG ANAK NELAYAN

Sudah nonton LASKAR PELANGI? Film yang diadopsi dari novel Andrea Hirata sungguh luar biasa. Riri Reza sukses menyutradarainya sehingga mampu menyentak-nyentak kesadaran yang hampir beku, bahwa pendidikan bukan melulu soal gedung, gaji guru, buku terbaru, dan kurikulum. Pendidikan perlu sukma, kemerdekaan, dan di atas segalanya adalah ketulusan.

Lintang, salah seorang anggota pasukan Laskar Pelangi (murid-murid Bu Muslimah di SD Muhammadiyah Gantong, Belitung), putra nelayan yang cerdas matematika. Saban pagi pergi sekolah melintas padang ilalang dan rawa kecil kubangan buaya besar. Lintang, nyaris gagal ikut cerdas cermat lantaran terhalang buaya besar yang tak mau beranjak dari jalan setapak.
Sayang, sekembali ke rumah membawa khabar kemenangan kepada bapak dan adik-adiknya, bapaknya belum juga pulang dari laut. Beberapa hari kemudian Lintang dan adik-adiknya yakin sang bapak tewas di laut. Patahlah harapan Lintang untuk meneruskan sekolah dan pamit kepada Bu Mus dan anggota Laskar Pelangi untuk meneruskan tradisi orang tuanya, menjadi nelayan.

Sekali lagi terkonfirmasi bahwa nelayan di negeri bahari ini hidupnya selalu memilukan hati. Lintang, si anak jenius matematika, yang seyogyanya menjadi bekalnya untuk "memberi lebih banyak, bukan meminta lebih banyak" sepaerti yang senantiasa dipetuahkan sang Kepala Sekolah, harus keluar paling awal dari Laskar Pelangi lantaran kemiskinan absolut.

Di negeri ini ada 8.090 desa pesisir. Tentu naif untuk mengaharapkan pendidikan pesisir laksana SD Muhammadiyah Gantong, sebab boleh jadi tidak ada lagi pahlawan tanpa tanda jasa seperti Pak Kepala Sekolah dan Bu Mus. Anak-anak nelayan perlu sekolah, perlu sehat, pendidikan ketulusan agar ketika mereka dewasa "lebih banyak memberi daripada lebih banyak meminta".

Laut lumbung penghabisan. Di sanalah masa depan Indonesia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda