Kamis, 25 September 2008

KREDIT MIKRO PASCABENCANA

Gempa bumi dan gelombang tsunami yang menimpa NAD, Nias, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pantai Selatan Jawa telah mengakibatkan dampak yang begitu luas, terutama bagi kalangan Usaha Mikro Kecil (UMK) di daerah tersebut. Kerusakan sarana dan prasarana budidaya seperti tambak, saluran tambak, hatchery, kolam air tawar, dan Keramba Jaring Apung terjadi di Kota Banda Aceh, Kota Lhoksemawe, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Biruen, Kab. Aceh Utara, Kab. Aceh Timur dan Kab. Aceh Selatan. Persentase kerusakan tambak dan saluran tambak terparah terjadi di kota Banda Aceh (541 Ha tambak dan 20 km saluran tambak) dan Kab. Aceh Besar (1.005,7 Ha tambak dan 42 km saluran tambak) dimana semua tambak dan saluran tambak rusak.
Kerusakan tambak terluas terjadi di Kab. Aceh Timur (7.366 Ha) dan Kab. Aceh Utara (4114 Ha) serta kerusakan saluran tambak terpanjang terjadi di Kab. Aceh Utara (169 km) dan Kab. Bireun (126 km). Sarana dan prasarana yang rusak seperti TPI (tempat pelelangan ikan) sebanyak 19 unit (0,37%), PPI (pangkalan pendaratan ikan) 63 unit (1,24%), dan sekitar 40% armada penangkapan skala kecil beserta alat tangkapnya juga ikut ditelan tsunami. Pemerintah memperkirakan kerusakan sektor perikanan sebesar Rp. 478 milyar (US$ 52 juta). Bank Umum sebagai penopang kegiatan UMK juga mengalami kerusakan akibat tsunami sebanyak 25 unit (17,61%) dan BPR sebanyak 4 unit (8,89%), sekitar Rp 2 trilyun kredit diperkirakan menjadi kredit bermasalah.
Seperti halnya di NAD dan Nias, gempa Yogyakarta dan tsunami yang terjadi di Pantai Selatan Jawa juga memporak-porandakan UMK di wilayah itu. Akibat tsunami tersebut di Jawa Barat tercatat sebanyak 1.326 unit perahu rusak. Jika ditaksir kerugian yang dialami mencapai Rp. 53 milyar. Di Jawa Tengan dan DIY juga mengalami hal yang sama. Dari data DKP per 7 Agustus 2006 mencatat 2738 kapal rusak berat dan sebanyak 36.033 alat tangkap juga mengalami rusak berat. Kondisi kerusakan yang menimpa masyarakat pesisir khususnya kegiatan perekonomian UMK harus segera dibenahi. Kita tidak bisa membiarkan masyarakat pesisir terus terpuruk dalam kesedihan sehingga akan menimbulkan dampak negatif yang lebih banyak.

PROGRAM PEMP DI DAERAH BENCANA

Jauh hari sebelum terjadi musibah bencana yang notabene memporak-porandakan perekonomian masyarakat pesisir, pemerintah melalui DKP telah melakukan pemberdayaan UMK melalui program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Dengan segala keterbatasan khususnya akses permodalan di masyarakat pesisir, DKP berusaha memecah kebuntuan itu. Program PEMP ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja masyarakat pesisir (termasuk nelayan) melalui pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pesisir yang profesional, mandiri dan berkelanjutan. Rintisan pembentukan LKM juga merupakan keharusan dalam upaya menjebol tembok-tembok penghalang akses permodalan nelayan. Pentingnya kehadiran LKM, berkaitan dengan keterbatasan jangkauan pelayanan lembaga perbankan selama ini. Sebuah dilema perbankan yang harus dipecahkan, yakni pada tingkat business plan sesungguhnya lembaga perbankan sudah mengalokasikan pagu untuk Usaha Mikro Kecil Koperasi (UMKK), akan tetapi mengalami hambatan dalam penyaluran kepada nelayan karena faktor jangkauan pelayanan dan akses yang masih sulit.
Pada awalnya, tidak terkecuali di daerah-daerah yang kemudian dilanda bencana, masyarakat pesisir dimotivasi dan difasilitasi untuk memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan secara terencana melalui kelompok. Karena itu, dalam periode inisiasi (2001-2003) ini, Program PEMP memfasilitasi pembentukan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di tingkat desa untuk kemudian KMP-KMP ini bergabung membentuk Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-mikro mitra mina (LEPP-M3) di tingkat Kecamatan.
Didampingi seorang Tenaga Pendamping Desa (TPD), KMP membuat rencana kerja anggota untuk diajukan pembiayaannya pada LEPP-M3. Rencana kerja yang diajukan KMP tersebut diverifikasi terlebih dahulu oleh Mitra Desa (yang terdiri atas tokoh masyarakat desa) guna memastikan bahwa anggota KMP betul-betul sebagai warga setempat yang matapencahariannya berkaitan dengan sumberdaya kelautan dan perikanan. Hasil verifikasi tersebut kemudian dianalisis kelayakan (usaha dan teknis) oleh LEPP-M3. Rencana kerja KMP yang dinilai layak akan mendapatkan fasilitas ”dana bergulir” tanpa agunan dengan tingkat suku bunga antara 6-12 persen per tahun.
Tiga tahun periode inisiasi memberikan banyak pelajaran untuk keberlanjutan program dan kemandirian masyarakat pesisir. Pertama, ada indikasi perubahan kultur kewirausahaan dari yang berkarakter individual-tradisional-subsistensi ke kultur korporat-berorientasi profit. Perubahan kultural ini berkaitan erat dengan intensitas pendampingan. Kedua, pengelolaan LEPP-M3 ditangani tenaga-tenaga sukarela-amatir sehingga mudah ditinggalkan begitu tenaga pengelola mendapatkan pekerjaan tetap di tempat lain. Secara demikian, LEPP-M3 mengalami kesulitan untuk tumbuh menjadi lembaga yang diharapkan menjadi holding company dengan bisnis utama pelayanan kredit mikro. Ketiga, tingkat suku bunga yang terlalu rendah justru membangkitkan moral hazard sehingga sulit mengharapkan keberlanjutan program.
LEPP-M3 hasil periode inisiasi kemudian direvitalisasi dalam periode institusionalisasi (2004-2006). Bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UKM, LEPP-M3 didorong menjadi berbadan hukum koperasi. Di bawah koperasi LEPP-M3, pengelolaan ”dana bergulir” dikonversi menjadi Unit Simpan Pinjam dengan melibatkan lembaga perbankan. Pada tahun pertama (2004) Bank Bukopin dan Bank Papua yang bersedia menjadi mitra, menyusul kemudian Bank BRI, BSM, dan Bank Maluku pada tahun kedua.
Ketika koperasi LEPP-M3 di Propinsi Nangro Aceh Darussalam dan Sumut sedang bersemangat merintis Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina bersama Bank Bukopin setempat, bencana tsunami datang menerjang. Pengelola Swamitra Mina yang sudah dilatih sebagian besar tewas. Demikian pula kantor mereka hancur berantakan berikut perangkat komputer dan sistemnya. Tidak ada pilihan lain, skim PEMP harus disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Bekerjasama dengan Regional Center Program Mitra Bahari (yang merupakan forum perguruan tinggi, pemda, LSM, dan kalangan pengusaha) NAD, nelayan-nelayan yang selamat diidentifikasi dan didampingi untuk rehabilitasi usaha produktif mereka. Dana PEMP yang sudah terlanjur masuk rekening Koperasi LEPP-M3 pada Bank Bukopin digunakan untuk membeli perahu, jaring, dan modal kerja. Dana itu diberikan sebagai hibah.
Berbeda dengan bencana NAD dan Nias, gempa bumi Yogyakarta dan tsunami Selatan Jawa justru terjadi setelah LKM Swamitra Mina berjalan secara on-line system di Bantul, Kulonprogo, Tasikmalaya, Cilacap, dan Ciamis. Pada saat gempa melanda Yogyakarta, Swamitra Mina Bantul telah membukukan keuntungan Rp 49,7 juta dengan NPL (non performance loan) 2,11%, Kulonprogo keuntungan Rp 43,9 juta dengan NPL 3,63%, Tasikmalaya keuntungan Rp 118,2 juta dengan NPL 10,11%, dan Cilacap membukukan keuntungan Rp 19,8 juta dengan NPL 21,14%. Karena itu kebijakannya pun berbeda dengan kebijakan NAD dan Nias.

SKIM KREDIT PASCABENCANA

Setelah melewati masa tanggap darurat, skim pembiayaan usaha mikro kecil pesisir di NAD dimulai dengan memperkuat LKM Syari’ah Baithul Qirodh (BQ)bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri, Kementerian Koperasi dan UKM, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dan Pemda NAD.
Perekrutan tenaga pengelola BQ dilakukan oleh BSM dan Pemda Kabupaten/Kota, kemudian dilatih oleh PINBUK dan BSM atas pendanaan DKP dan Kementerian Koperasi dan UKM. Modal awal yang akan digulirkan melalui BQ bersumber dari dana PEMP dan ke depan juga dari dana penjaminan Kementerian Koperasi serta dari BSM dan Pemda. Masyarakat pesisir (terutama nelayan dan pembudidaya ikan) atas pendampingan TPD dan RC Program Mitra Bahari, mengakses skim kredit mikro syariah pada BQ.
Sementara di daerah bencana Pantai Selatan Jawa, kebijakan skim pembiayaan usaha mikro kecil pesisir disesuaikan dengan tingkat kerusakan yang dialami masyarakat serta dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, dilakukan identifikasi nasabah swamitra mina untuk menetapkan skim penyelesaian kredit mereka. Nelayan atau pembudidaya ikan yang asetnya mengalami kehancuran total, maka kreditnya dihapusbukukan sehingga mereka terbebas dari kewajiban membayar. Selebihnya ada kebijakan pemotongan bunga dan reschedulling.
Tahap berikutnya adalah peluncuran skim kredit khusus pascabencana dengan tanpa agunan, bunga rendah sekitar 6%, dan grace period (masa tenggang) 1-2 tahun. Kredit khusus ini tetap menggunakan LKM Swamitra Mina. Selain itu, saat ini Kementerian Koperasi juga sedang menggodok skim pembiayaan UMK untuk daerah bencana. Dengan skim khusus ini kita berharap ekonomi masyarakat pesisir di daerah bencana akan tumbuh secara mandiri dan terhormat.***

1 Komentar:

Pada 16 November 2008 pukul 17.55 , Blogger Unknown mengatakan...

pak sudirman, saya ashar karateng, sekitar 2002-2003 pernah terlibat di pemp di takalar. sayang senang mendengar beberapa perkembangan dan inovasi2 baru di skim pemp. saya kira kredit mikro bagi wilayah pesisir memang urgen. soalnya tinggal bagaimana bentuk skim yang memang sesuai dengan kondisi masyarakat diwilayah tersebut. bagaimanapun, setiap wilayah mempunyai karakteristik tersendiri dan karenanya memutlakkan adanya penyesuaian setiap skim di setiap wilayah berbeda.

salam hormat saya.
ashar karateng
makassar

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda